KASUS
LIPPO
Beberapa
kasus yang hampir serupa juga terjadi di Indonesia, salah satunya adalah
laporan keuangan ganda Bank Lippo pada tahun2002. Kasus Lippo bermula dari
adanya tiga versi laporan keuangan yang ditemukan oleh Bapepam untuk periode 30
September 2002, yang masing-masing berbeda. Laporan yang berbeda itu. Pertama
yang diberikan kepada publik atau diiklankan melalui media massa pada 28
November 2002. Kedua, laporan ke BEJ pada 27 Desember 2002. Dan ketiga, laporan
yang disampaikan akuntan publik, dalam hal ini kantor akuntan publik Prasetio,
Sarwoko dan Sandjaja dengan auditor Ruchjat Kosasih dan disampaikan kepada
manajemen Bank Lippo pada 6 Januari 2003.
Dari
ketiga versi laporan keuangan tersebut yang benar-benar telah diaudit dan
mencantumkan ”opini wajar tanpa pengecualian” adalah laporan yangdisampaikan
pada 6 Januari 2003. Dimana dalam laporan itu disampaikan adanya penurunan AYDA
(agunan yang diambil alih) sebesar Rp 1,42triliun, total aktiva Rp 22,8
triliun, rugi bersih sebesar Rp 1,273triliun dan CAR sebesar 4,23 %.
Untuk
laporan keuangan yang diiklankan pada 28 November 2002 ternyata terdapat
kelalaian manajemen dengan mencantumkan kata audit. Padahal laporan tersebut
belum diaudit, dimana angka yang tercatat pada saat diiklankan adalah AYDA
sebesar Rp2,933 triliun, aktiva sebesar Rp 24,185 triliun, laba bersih tercatat
Rp 98,77miliar, dan CAR 24,77 %.
Karena
itu BAPEPAM menjatuhkan sanksi denda kepada jajaran direksi PT Bank Lippo Tbk.
sebesar Rp 2,5miliar, karena pencantuman kata ”diaudit” dan ”opini wajar tanpa
pengecualian” di laporan keuangan 30 September 2002 yang dipublikasikan pada 28
Nopember 2002, dan juga menjatuhkan sanksi denda sebesar Rp 3,5 juta kepada
Ruchjat Kosasih selaku partner kantorakuntan publik (KAP) Prasetio, Sarwoko
& Sandjaja karena keterlambatan penyampaian informasi penting mengenai
penurunan AYDA Bank Lippo selama 35 hari. Kasus-kasus skandal diatas
menyebabkan profesi akuntan beberapa tahun terakhir telah mengalami krisis
kepercayaan.
Hal
itu mempertegas perlunya kepekaan profesi akuntan terhadap etika. Jones,et al.
(2003) Lebih memilih pendekatan individu terhadap kepedulian etika yang berbeda
dengan pendekatan aturan seperti yang berdasarkan pada Sarbanes Oxley Act.
Mastracchio (2005) menekankan bahwa kepedulian terhadap etika harus diawali
dari kurikulum akuntansi, jauh sebelum mahasiswa akuntansi masuk di dunia
profesi akuntansi.
Dari
kedua kasus di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa dalam profesi akuntan
terdapat masalah yang cukup pelik di mana di satu sisi para akuntan harus
menunjukkan independensinya sebagai auditor dengan menyampaikan hasil audit ke
masyarakat secara obyektif, tetapi di sisi lain mereka dipekerjakan dan dibayar
oleh perusahaan yang tentunya memiliki kepentingan tersendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar